“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (Q.S. An-Nur : 26)
Sebuah logika sederhana dan penuh keadilan dicetuskan Tuhan. Seorang lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula. Dengannya diharapkan jika ingin mendapatkan seorang istri yang baik sudah sepatutnya seorang lelaki juga harus menjadi baik.
Apakah patut? Seorang lelaki yang tidak menjaga dirinya mendapatkan seorang wanita yang selalu menjaga dirinya dan berserah diri kepada Allah.
Terkadang manusia terlalu banyak bermimpi. Mereka berjalan seenaknya namun ingin mendapatkan hasil pasti yang sesuai kehendaknya. Mereka menodai wanita-wanita, menghancurkan kehidupan dan harga diri mereka tetapi tetap masih mengharapkan mendapatkan seorang wanita sejati, wanita suci, wanita yang belum ternoda sebagai pendamping hidupnya.
Yang lain malah abstrud. Selalu berusaha menjaga dirinya namun begitu mudah menerima pendamping yang menjadi bekas lelaki bejad lainnya. Kontradiktif. Karenanya banyak yang menilai ayat di atas erat kaitannya dengan kualitas keimanan seseorang, karena melihat hal-hal yang menyimpang sering sekali terjadi. Wanita baik dengan lelaki buruk atau wanita buruk dengan lelaki baik.
Kawan, kualitas keimanan seseorang berbanding lurus dengan akhlak dan tingkah lakunya. Lihatlah cara seseorang bersikap, bagaimana cara mereka menghargai seorang wanita. Dari sana engkau bisa melihat kualitas tatanan keimanan mereka.
Sebaik-baik lelaki adalah yang paling menghormati wanita.
Bidadari, aku rindu kamu. Untuk mendapatkan seorang bidadari, seorang lelaki harus menjadi pria sejati. Pria sejati bukanlah seorang pria yang begitu mudah mengobral cinta, atau pria yang paling banyak pacarnya. Pria sejati bukan juga mereka yang tidak takut dan tidak malu-malu untuk mengungkapkan cinta. Bukan demikian apa yang disebut dengan pria sejati.
Pria sejati adalah seorang pria yang paling menjaga sikap dengan seorang wanita. Mereka adalah yang paling menghargai wanita. Seorang lelaki yang bertanggung jawab, dan selalu menggunakan imannya dalam melangkah.
Sama seperti analogi kekuatan: Pria yang kuat bukanlah yang paling handal bertarungnya atau kekuatannya, namun lelaki kuat adalah lelaki yang paling mampu menahan amarahnya.
Aku adalah seorang lelaki. Dan aku bercita-cita menjadi sebaik-baik lelaki.
Aku dulu pernah timpang. Aku berjalan dengan kaki yang pincang. Aku terseret arus yang dialirkan oleh napsu-napsu setan. Aku pernah menjadi teramat salah dan itu menjadi mimpi buruk berkepanjanganku. Aku bingung, masihkah aku mampu menjadi seorang lelaki, menjadi sebaik-sebaik lelaki.
Tak ada manusia yang tak pernah salah. Aku menatap kembali bait-bait Dhuha yang dulu pernah sering aku lantunkan dipagi ketika matahari telah sempurna terangnya.
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.” (Q.S. Ad-Dhuha : 3-4)
Adalah sebuah janji Tuhan bahwa akhir dari sebuah masa adalah sebuah penentuan. Seseorang boleh saja berdosa diawal namun ketika akhir dia menuju pertobatannya daripada penuh keimanan namun diujung hidup sebagai pendosa. Sungguh, dalam tiap-tiap perbuatan telah awal ditentukan, dan kepada Tuhanmulah kamu kembali.
Sekarang ini aku sedang belajar, tidak hanya menegakkan punggungku untuk melamar seorang bidadari kelak, namun aku juga sedang belajar menjadi sebaik-baik lelaki.
0 comments:
Post a Comment