Pages

Friday, September 21, 2012

Cinta Tak Terungkap


Dinginnya angin malam membuatku tersadar dari rasa kantuk yang sudah menderaku dari dua jam yang lalu. Kulihat ke arah dinding jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Di sekelilingku sudah tidak ada yang bersuara, ruangan ini terasa amat sunyi. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak, ditemani dengan suara tetesan air dari jarum infus yang menggantung disertai dengan detakan alat pendeteksi nadi, dan suara tarikan nafas yang naik turun dari balik masker oksigen. Ku amati tubuh lemah di depanku yang sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidur dimana aku merebahkan kepalaku.
Ku amati tubuh itu dengan penuh rasa haru. Ingin rasanya aku keluarkan semua perasaan yang ada di dadaku, namun apa gunanya? Tubuh itu tak akan bisa bersuara, dia hanya bisa diam tanpa menjawab. Seribu rasa penyesalan berkecamuk di dadaku, seperti bom waktu yang sebentar lagi akan meledak. Ku amati tubuh itu dengan lebih seksama. Tubuh itu, tubuh lemah seorang Sinta, sedang bersusah payah menarik nafas dari balik masker oksigen agar tetap bisa melihat indahnya dunia. Tanpa kusadari, pikiranku pun melayang pada saat pertama kali aku mengenalnya sampai akhirnya semua peristiwa ini terjadi.
Waktu itu pertengahan bulan Juli sedang berlangsung masa orientasi di kampusku. Kebetulan aku menjadi salah satu panitia ospek dimana pada saat itu Sinta baru bergabung di kampusku alias mahasiswi baru. Semuanya berjalan lancar tanpa ada keributan, sampai tiba-tiba dari kejauhan…
“Tolong…tolong…ada yang pingsan nih.” Terdengar suara seorang mahasiswi sedang berteriak minta tolong.
“Ada apa tuh Ton?” tanya Bobi,temanku.
Tanpa menjawab, Aku dan Bobi langsung berlari ke arah teriakan berasal.
“Kenapa ini?” tanyaku. “Capat bantu aku! Bawa dia ke ruang perawatan.
Sesampainya di ruang perawatan, ku baringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Nafasnya terdengar naik turun. Ku sapukan alkohol ke hidungnya, dan syukurlah akhirnya dia sadar juga.
“Kamu kenapa?” tanyaku. “Gak papa kak, mungkin karena belum sarapan,” jawabnya dengan lembut.
“Pantesan. Lain kali sarapan dulu baru pergi,” sahutku. “Sekarang kamu istirahat aja, gak usah ikutan ospek, ntar biar aku yang urus. Oh ya, nama kamu siapa?”tanyaku.
“Sinta kak. Makasih banyak ya kak.”
“Dasar Anton, gak bisa lihat yang bening dikit,” celoteh Bobi.
“Diem lue,” jawabu sambil tersenyum dan melangkah pergi.
Sejak saat itu, Aku dan Sinta semakin dekat. Kami sering pergi dan pulang bareng. Semua teman-teman kami mengira aku dan Sinta pacaran, padahal tidak. Kami memang selalu berbagi dalam hal apapun. Dia selalu mendukungku apabila aku benar dan mengkritikku kalau aku salah, demikian sebaliknya. Tidak pernah ada yang kami sembunyikan, apapun bentuknya, walau masalah yang amat pribadi sekalipun. Sinta sangat berarti bagiku. Aku tidak tahu apa ini cinta atau hanya sekedar rasa sayang kakak pada adiknya. Entahlah…. yang ku tahu hanyalah hari-hariku akan terasa sepi tanpa kehadirannya. Sampai akhirnya Bobi menginterogasiku.
“Ton, sebenarnya kamu itu suka gak sih ama Sinta? Jangan gak jelas gitu. Kalau kamu emang suka, kamu harus milih dia apa pacarmu yang di Bandung, jangan dua-duanya kamu gantung begini, kasihan kan anak orang. Yang gentle dikit lah. Malah aku lihat Sinta itu sayang banget ama kamu, kelihatan koq dari sikapnya ke kamu.”
“Itulah masalahnya Bob. Awalnya rasa sayangku padanya biasa-biasa aja, namun sekarang aku lebih menyayangi Sinta daripada pacarku yang di Bandung. Aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya dan menjadikannya lebih baik dari sekarang. Aku juga tahu kalau dia itu sayang ama aku, tapi aku gak tahu harus apa. Sementara untuk memutuskan pacarku rasanya sulit, karena keluarga kami sudah terlalu dekat. Aku bingung!”
“Kenapa harus bingung, ikuti aja apa kata hatimu karena yang ku tahu kata hati itu gak akan pernah berbohong. Kalau soal keluarga, kamu ngomong aja baik-baik, aku yakin mereka bakalan ngerti koq. Orang tuakan selalu ingin anaknya bahagia. Percaya deh ama aku.”
“Ok deh, aku akan memikirkannya benar-benar, thanks ya.”
“It’s ok man, that’s what friends are for,” tambahnya. Temanku yang satu ini memang teman yang luar biasa.
Satu minggu sudah berlalu, dan akupun telah memutuskan apa yang akan kulakukan. Kuputuskan untuk pulang ke Bandung untuk menceritakan semuanya. Keputusanku sudah bulat, aku akan memilih Sinta. Tapi hal ini belum kuutarakan padanya karena aku ingin memberikannya kejutan. Ku katakan padanya kalau aku harus ke Bandung karena ada urusan keluarga. Sesampainya di Bandung, kukatakan pada orang tuaku tentang rencanaku. Awalnya mereka menentang, namun setelah ku jelaskan permasalahannya, akhirnya mereka mau mengerti dan mendukungku. Dengan syarat, Ranti (pacarku) dan keluarganya gak keberatan.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menemui Ranti dan keluarganya. Kedua orang tuaku ikut bersamaku. Sama halnya dengan kedua orang tuaku, awalnya orang tua Ranti sangat marah padaku dan memaki-maki aku. Aku maklum, namanya juga orang tua, mereka pasti marah kalu anaknya disakiti. Sementara Ranti hanya diam. Kemarahan mereka mereda setelah ku jelaskan kalau Ranti akan lebih terluka kalau hubungan kami tetap dilanjutkan. Dan tiba-tiba Ranti angkat bicara…
“Pak, Bu, mas Anton benar. Ranti akan lebih terluka kalau mas Anton mengkhianati Ranti. Biar bagaimanapun ini jauh lebih baik. Lagipula, kalau dipaksakan hasilnya tidak akan baik. Tidak akan pernah ada rasa saling sayang yang tulus diantara kami. Biarlah mas Anton bersama yang lain. Bapak dan Ibu kan sudah berusaha menjodohkan kami, namun Tuhan berkata lain, lantas kita bisa apa? Dan buat mas Anton, Ranti ikhlas koq kalau ini semua harus berakhir.”
Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Ranti barusan.
“Be…be…benar kamu ikhlas?” tanyaku terbata-bata sambil menatap wanita bijak dihadapanku dengan penuh kekaguman. Sikap bijaksananya inilah yang membuatku menerima perjodohan kami.
“Benar.”
Sekali lagi aku terdiam beberapa saat.
“Terima kasih banyak ya Ran, dan maafin mas kalau keputusan mas menyakiti perasaan Ranti.”
“Ranti gak papa koq mas. Mas gak salah, lagian cinta itu kan hak pribadi setiap orang,” ujarnya sambil tetap tersenyum.
Kemudian aku dan keluargaku pamit pada Ranti dan keluarganya. Aku tak henti-hentinya memohon maaf dan memohon agar hubungan dua keluarga yang sudah terjalin jangan sampai putus. Ku ucapkan ribuan terima kasih pada Ranti yang sudah mau mengerti akan keputusanku. Kemudian Ranti dan keluarganya mengatakan bahwa hubungan keluarga kami akan baik-baik saja, aku tak perlu khawatir.
Dua hari kemudian kuputuskan untuk kembali ke Jakarta karena aku sudah gak sabar lagi ingin menemui Sinta dan mengutarakan isi hatiku. Namun sesampainya di Jakarta, bukannya kabar baik yang kuterima. Maksud hati ingin memberikan kejutan, tapi malah berbalik menjadi keterkejutanku.
“Sintanya ada bik?” tanyaku pada pekerja di rumah Sinta ketika aku sampai di rumahnya.
“Eeh mas Anton. Mbak Sintanya gak ada, kan lagi di rumah sakit Cipto,” jawab si bibi.
“Lho, siapa yang sakit bik?” tanyaku.
“Mas Anton gak tahu toh? Dua hari yang lalu mbak Sinta pingsan dan di bawa ke rumah sakit. Katanya Ibu sih sampai sekarang belum sadar, lagi koma kalau gak salah,” ujar si bibi dengan lugunya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan si bibi. Tujuanku hanya satu, rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, kulihat orang tua Sinta sedang terduduk lesu tak berdaya di depan ruangan ICU. Dari sinilah awal penyesalan itu datang.
“Ada apa dengan Sinta om, koq tiba-tiba anfal? Waktu saya pergi kemarin sepertinya dia gak papa,” tanyaku pada papanya Sinta. Mereka hanya diam tanpa bisa menjawab, sampai akhirnya kutanyakan sekali lagi, baru mereka menjawab.
“Sinta memang sering seperti ini nak Anton, tapi kali ini yang terparah,” jawab papanya.
“Sering? Ada apa sebenarnya om?”
“Sebenarnya…sebenarnya…” Setelah menarik nafas panjang, papanya Sinta melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya Sinta sudah terjangkit Leukimia sejak SMP dulu. Kami sudah membawanya berobat kemana-mana, tapi nihil,” ujar papanya sambil berusaha menahan air mata.
Lututku langsung lemas seketika, jantungku seakan berhenti berdetak. Ini benar-benar kejutan yang amat sangat mengejutkanku. Leu…leu…leukimia? Ya Tuhan, kenapa? Sintaku sayang…sesalku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke dalam ruangan melalui bagian pintu transparan. Kulihat Sinta terbaring dikelilingi dengan berbagai macam alat-alat kedokteran yang entah apa namanya aku tak tahu. Sadarlah Sinta, ujarku dalam hati. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, sadarlah sayangku… Penyesalanku semakin bertambah ketika orang tua Sinta mengatakan padaku kalau selama ini Sinta sangat menyayangiku, namun tak berani mengatakannya dengan alasan penyakit yang dideritanya. Dia hanya bisa mencurahkan perasaannya pada orang tuanya dan pada buku hariannya yang kini sudah berada di tanganku. Orang tuanya yang memberikan.
***
“Nak Anton, bangun, makan dulu. Kamu kan belum makan dari tadi. Dah jam 11 nih.” Terdengar suara seorang wanita memanggilku. Ya ampun…rupanya aku tertidur. Mungkin karena terlalu asyiknya melamun, tanpa sadar aku tertidur.
“Eeh iya tante, ntar lagi aja, masih kenyang, tadi sore dah makan di kampus,” jawabku sambil membetulkan posisi dudukku.
“Ooh ya sudah, tapi kalau dah lapar makan aja, ntar sakit lagi.”
“Iya tante.”
Suasana kembali sunyi seperti semula. Kulihat Sinta masih belum sadarkan diri. Ku tatap dia dengan penuh rasa sayang. Sadarlah Sinta… Ya Tuhan, sadarkanlah Sinta, izinkanlah kami berbagi kasih sayang, izinkanlah aku mengatakan apa yang kurasakan padanya, agar dirinya tahu bahwa aku juga sangat menyayanginya, aku gak mau kehilangan dia, doaku dalam hati. Seandainya aku tidak terlalu lama mengambil keputusan semuanya mungkin tidak akan seperti ini. Seandainya aku mengatakannya lebih awal mungkin aku bisa membuatnya bahagia, bukannya malah membiarkannya menderita menahan perasaannya sendiri sampai akhirnya dia anfal. Ya Tuhan, aku menyesal, aku memang bodoh. Seandainya waktu dapat kuputar kembali… Seandainya… Seandainya… Aku berusaha menahan air mataku. Namun tiba-tiba…
“Om, tante! Sinta bergerak, dia sadar! Saya akan panggil dokter,” teriakku setelah keluar dari ruang ICU. “Apa? Sinta sadar?” kedua orang tua malang itu langsung berlari ke tempat tidur Sinta. Aku pun dengan segera berlari disepanjang lorong rumah sakit untuk memanggil dokter. Aku dan dokter yang menangani Sinta pun kembali ke ruang ICU sambil berlari. Namun ketika dokter memeriksa keadaan Sinta….
“Pak, Bu, nak Anton, maafkan saya,” kata sang dokter sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa maksud anda?” tanyaku. “Tadi kami lihat Sinta bergerak.”
“Saya tahu, mungkin itulah saat terakhirnya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkata lain, maaf,” ujar sang dokter.
Kami semua terdiam. Kedua orang tua Sinta saling berpelukan sambil menangis karena anak mereka satu-satunya sudah dipanggil yang maha kuasa. Oh Tuhan, tidak! Kenapa harus begini? Tidak, tidak, tidaaaaaaakkkk!!!!!!! Teriakku sambil berlari keluar ruangan. Tak kuperdulikan teriakan orang tua Sinta yang memanggilku. Aku menuju ke tempat dimana sepeda motorku terparkir. Ku hidupkan mesin dan langsung tancap gas tanpa tujuan yang pasti. Di sepanjang jalan aku terus berteriak mengeluarkan semua penyesalan yang ada di dadaku. Sinta maafkan aku… Kalaupun ini harus terjadi setidaknya kamu tahu kalau aku juga mencintaimu dan mungkin kamu akan bahagia walau hanya sebentar, tidak seperti sekarang, ini semua salahku! Tidaaaakkkkk!!!!!teriakku sekali lagi, aku tidak perduli dengan situasi jalan raya yang masih ramai. Semua kenangan itu terlintas dalam pikiranku tanpa terkecuali. Semua candanya, kelembutannya, pengertiannya, kasih sayang yang ditunjukkannya padaku, semuanya…semuanya… Oh Tuhan…alangkah bodohnya aku, kutukku dalm hati. Aku terus melajukan sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Semua rasa penyesalan itu terus hadir secara bergantian dalam kepalaku. Sampai tiba-tiba… “Aaakkhh…” aku dan motorku terguling-guling ke luar jalan raya. Beberapa menit kemudian, aku terbangun. Kulihat masyarakat sudah ramai disekelilingku, tubuhku penuh darah. Namun….dari kejauhan kulihat seseorang mirip Sinta. Aku tidak perduli dengan keramaian disekitarku dan darah di tubuhku. Ku dekati orang itu. Ya ampun…itu memang Sinta!
“Sinta? Ini kamu?” ku peluk tubuhnya dengan erat penuh kerinduan. Tapi Sinta hanya diam. Dia mengajakku pergi dari tempat itu, dan tentu saja aku memenuhi permintaannya. Aku dan Sinta beranjak pergi meninggalkan tempat itu, tempat dimana sekumpulan masyarakat sedang mengerubungi sesosok tubuh yang tergeletak kaku penuh luka sambil bertanya-tanya siapa gerangan pria ini. Dan tak jauh dari tubuh tak bernyawa itu terlihat sebuah sepeda motor yang sudah hancur.

0 comments:

Post a Comment